Izin Kursus

Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya melalui program kursus. Ketentuan ini diatur oleh undang-undang sistem pendidikan.

Kursus sebagai salah satu satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal sangat fleksibel dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia usaha/industri.

Kursus diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Penyelenggaraan kursus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Negara sebagai bagian dari akuntabilitas publik.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 62 mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

  • Dasar Hukum
    – Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
    – Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
    – Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
    – Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
    – Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kerja
    – Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 261 /U/1999 tentang Penyelenggaraan Kursus
  • Penerbitan Izin Kursus
    Izin kursus diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota atas nama bupati/walikota, sebagai bentuk pemberian legalitas atas penyelenggaraan kursus di wilayah kerjanya
  • Izin kursus bertujuan untuk:
    – Memudahkan dalam pembinaan don pengembangan kursus
    – Memelihara don meningkatkan mutu penyelenggaraan
    – Mengarahkan, menyerasikan don mengembangkan kursus guna menunjang suksesnya program pembangunan bidang pendidikan
    – Melindungi kursus terhadap penyalahgunaan wewenang, hak dan kewajiban setiap jenis kursus
    – Melindungi konsumen
  • Masa Berlaku
    Izin kursus berlaku 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan mengajukan permohonan perpanjangan dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang berlaku.

    Apabila lembaga yang mengajukan izin pendirian belum memenuhi persyaratan maka pemerintah daerah dapat menerbitkan surat terdaftar hingga lembaga tersebut memenuhi persyaratan untuk jangka waktu paling lama 6(enam) bulan.

  • Persyaratan dan Izin
    a. Izin penyelenggaraan kursus bagi lembaga perseorangan, kelompok orang, lembaga sosial/yayasan, perseroan terbatas harus melengkapi:
    – Program dan isi pendidikan dalam bentuk struktur kurikulum
    – Jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaha kependidikan
    – Sarana dan prasaeana yang memadai baik jumlah dan kualitasnya
    – Pembiayaan yang diuraikan dalam komponen biaya investasi, biaya personal (yang harus dikeluarkan oleh peserta didik)
    – Rencana sistem evaluasi dan sertifikasi
    – Rencana manajemen dan proses pendidikan dalam bentuk uraian manajemen pengendalian mutu dan metodologi pembelajaran
    – Persyaratan lain mengenai perizinan kursus yang bersifat administrasi ditentukan oleh Pemerintah Daerah setempat

    b. Izin penyelenggaraan kursus bagi badan usaha yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing ditambah persyaratan berikut:
    – Kerjasama dengan lembaga kursus yang sudah mendapatkan ijin
    – Mendapatkan rekomendasi dari Departemen Pendidikan Nasional
    – Mendapatkan izin/keterangan penanaman modal asing dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan izin/keterangan dari Departemen Tenaga Kerja bagi yang menggunakan tenaga kerja asing

    c. Ketentuan khusus:
    Sekolah, perguruan tinggi atau institusi lain yang menyelenggarakan kursus untuk masyarakat umum dengan memanfaatkan sarana/prasarana milik pemerintah dapat mdiberikan izin kursus sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-perundangan yang berlaku.

  • Prosedur pengurusan izin
    – Calon penyelenggara kursus mengajukan izin untuk setiap jenis kursus yang akan diselenggarakan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan melampirkan persyarata-persyaratan yang ditentukan
    – Lembaga kursus yang telah memperoleh izin harus memperpanjang izin kursus selambat-lambatnya satu bulan sebelum izin kursus berakhir dengan melampirkan fotocopy izin penyelenggaraan kursus sebelumnya dan persyaratan lain sesuai ketentuan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
  • Pengawasan dan Sanksi

    Pengawasan
    a. Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan dan kewenangan masing-masing
    b. Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas public

    Bentuk Pelanggaran
    Pelanggaran atau penyalahgunaan izin penyelenggaraan dapat berupa:
    a. Penipuan publik, antara lain memberikan janji-janji kepada peserta didik untuk disalurkan setelah lulusan, tetapi ternyata tidak terbukti
    b. Pemalsuan dokumen
    c. Penyalahgunaan izin

    Sanksi
    a. Penyelenggara kursus yang beroperasi tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah
    b. Bagi lembaga kursus yang menyalahgunakan izin kursus maka dinas pendidikan kabupaten/kota dapat memberi sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan izin kursus

sumber : http://www.infokursus.net/perijinan.php

Banyak Perda Abaikan Kaidah yang Berlaku

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak peraturan daerah (perda) yang terbit terkait dengan objek yang ada di daerah tersebut. Sayangnya, jumlah perda yang bermasalah juga banyak. Umumnya, perda-perda bermasalah itu menyalahi kaidah yang berlaku. Tidak jarang, perda yang diterbitkan juga berhubungan erat dengan kepentingan pejabat daerah dan mengabaikan kepentingan umum.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bagian Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Kementerian Dalam Negeri, R Gani Muhammad, dalam diskusi yang diadakan hukumonline dengan tema “Peraturan dan Kebijakan Daerah Mengenai Sumbangan Pihak Ketiga dan Dampaknya Terhadap Kepastian Berinvestasi di Jakarta, Kamis (15/3).

Menurut Gani, minimnya pemahaman pemerintah daerah (pemda) mengenai makna otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membuat mereka terjerumus dalam pelanggaran undang-undang. “Mereka mengambil makna yang seluas-luasnya sehingga kaidah-kaidah yang sudah ada tidak diperhatikan,” ujarnya.

Revisi UU No 32 Tahun 2004 diperlukan untuk mengatasi hal ini. Menurut Gani, ada beberapa poin dalam undang-undang tersebut yang harus diperjelas arahnya, sehingga tidak menjadi celah bagi Pemda untuk menerbitkan Perda yang diindaksikan melanggar undang-undang. Salah satunya adalah Pasal 157.

Dalam pasal ini disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah atau PAD meliputi hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Kemudian, pendapatan daerah didapat dari dana perimbangan, serta lain-lain pendapatan daerah yang sah.

“Nah, lain-lain pendapatan daerah yang sah ini yang harus diperbaiki dan diperjelas agar tidak ada celah untuk penyimpangan seperti sumbangan ini, itu, yang tidak datur dalam undang-undang,” tegas Gani.

Bukan itu saja. Penerbitan perda terkadang didasari dengan kepentingan pimpinan daerah. Pemahaman otonomi daerah yang seluas-luasnya menjadi kendala bagi pemerintah pusat untuk menindaklanjuti hal ini. Apalagi, banyak perda yang terbit tanpa melaporkan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat.

Perda bermasalah juga dapat memicu korupsi di kalangan pejabat daerah. Salah satu kasus korupsi yang telah ditemukan oleh BPK di beberapa daerah adalah penyalahgunaan dana hibah atau bantuan sosial (bansos). Perda tentang Sumbangan Pihak Ketiga memang menjadi payung hukum bagi implementasi dana hibah dan bansos.

Sejatinya, dana hibah dan bansos yang diambil dari APBD diperuntukkan bagi korban bencana alam atau diberikan kepada yayasan untuk kegiatan sosial. Namun pada praktiknya, dana ini diselewengkan dengan modus yang beragam seperti untuk membantu kegiatan partai politik.

Untuk mengatasi hal itu, Mendagri mengeluarkan Permendagri No 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos Yang Bersumber Dari APBD. Dengan terbitnya peraturan ini, para penerima hibah dan bansos harus bersiap membenahi laporan pertanggungjawaban keuangan. Peraturan ini juga mewajibkan Pemda untuk bertanggungjawab atas pemberiannya. Untuk dana hibah, pelaporan dan pertanggungjawabannya diatu dalam Pasal 16 sampai Pasal 21. Sedangkan untuk bansos, dijelaskan dalam Pasal 34 sampai Pasal 39.

Sementara itu, Sudiotomo Kartohadiprodjo dari kantor hukum NKN Legal berpendapat, iklim investasi di daerah terganggu lantaran banyaknya perda yang bermasalah. Merujuk pada data Bappenas, ia mengatakan saat ini terdapat 3.091 perda bermasalah dan harus dicabut atau direvisi. Selain itu, temuan Komisi Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan, 72 persen dari 1.481 perda yang ada di 245 kabupaten/kota masih menyebabkan biaya tinggi.

Sejauh ini belum ada kepastian hukum untuk mengatasi banyaknya perda yang bermasalah. Bagi pelaku usaha, hal ini jelas sangat merugikan mengingat mereka telah terikat perizinan dengan Pemda, terutama mengenai adanya ketentuan sumbangan wajib yang ditetapkan di dalam Perda.

“Belum ada Perpres yang mengatur mengenai pembatalan, sehingga selama periode 2010-2011 tidak ada Perda bermasalah yang dibatalkan,” kata lelaki yang biasa disapa Dudi ini.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f62f0e755b55/banyak-perda-abaikan-kaidah-yang-berlaku

BI dan Kemenkeu Batasi Uang Muka Kredit

Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Selain untuk meningkatkan kehati-hatian bank dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), SE ini dibuat untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan.

 

BI mengatur besaran Loan To Value (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB. Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Dody Budi Waluyo mengatakan, SE BI ini dibuat lantaran meningkatnya permintaan KPR dan KKB, sehingga bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyalurannya. Menurutnya, pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko bagi bank.

 

Di samping itu, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar.“Diperlukan kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang timbul sewaktu-waktu,” kata Dody, Jumat (16/3).

 

Ruang lingkup KPR yang dimakud dalam SE BI ini meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen, namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi). Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.

 

Sementara itu, untuk DP bagi KKB ditetapkan sebagai berikut (i) Untuk Roda Dua minimal DP sebesar 25 persen, (ii) Roda Empat minimal DP 30 persen, dan (iii) Roda Empat atau lebih untuk keperluan produktif minimal DP 20 persen. Penjelasan untuk keperluan produktf sesuai pengaturan Surat Edaran, adalah, bila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut;

 

(a) Merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, atau (b) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimiliki.

 

Penetapan DP lebih rendah untuk kendaraan bermotor yang bersifat produktif bertujuan untuk mewujudkan keberpihakan kepada pihak-pihak yang memanfaatkan kredit kendaraan bermotor yang secara resmi digunakan untuk kegiatan produktif namun tetap mempertimbangkan aspek prudential.

 

LTV atau DP yang dipersyaratkan dihitung berdasarkan nilai perikatan agunan. “Besaran LTV untuk KPR maupun DP untuk KKB tersebut, akan disesuaikan dari waktu ke waktu dengan memperhatikan kondisi perekonomian terkini,” tutur Dody.

 

Terhitung sejak penetapan ketentuan, bank sentral memberikan masa transisi ketentuan selama tiga bulan. Menurut Dody, waktu tersebut dianggap memadai bagi bank untuk melakukan penyesuaian Standard Operating Procedures (SOP), sosialisasi, serta penyesuaian pelaporan ke BI. Setelah masa transisi, seluruh KPR dan KKB harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Bagi bank yang melanggar SE BI ini, dapat dikenakan sanksi adminsitratif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko.

 

Kementerian Keuangan tak mau kalah dengan BI. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan. Dengan PMK ini, Menkeu bermaksud  membatasi DP kredit kendaraan di industri pembiayaan (multifinance).

 

“Peraturan ini untuk meningkatkan kehati-hatian dalam melakukan pembiayaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri Perusahaan Pembiayaan,” kata Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan Yudi Pramadi.

 

Yudi mengatakan, pokok-pokok yang diatur dalam PMK dimaksud adalah DP kredit motor di multifinance dibatasi minimal 20 persen dari harga jual, bagi bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif minimal 20 persen dari harga jual, dan bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non produktif minimal 25 persen.

 

Kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut; a) merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiafan usaha tertentu; atau b) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.

 

Menurutnya, perusahaan pembiayaan wajib menerapkan ketentuan uang muka dalarn perjanjian pembiayaan konsumen dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak PMK tersebut mulai berlaku. Perusahaanyang melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi administratif sesuaidengan ketentuan yang berlaku. “PMK tersebut mulai berlaku yakni sejak 15 Maret 2012,” pungkas Yudi.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f63499ec6dfa/bi-dan-kemenkeu-batasi-uang-muka-kredit

Kasus Dugaan Pencurian Pulsa Konsumen – Polri Janji Seret Petinggi Dua Operator Selular

Pengunjuk rasa meminta penuntasan kasus dugana pencurian pulsa kosumen ponsel (Foto: Gaptekupdate.com)

JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mabes Polri berjanji akan menjerat petinggi dua operator selular lain yang diduga terlibat kasus dugaan pencurian pulsa. Namun, hal tersebut tergantung hasil pengembangan berkas tiga tersangka yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

“Kami akan proses tuntas kasus ini. Sekarang sedang dievaluasi untuk tiga tersangka terdahulu. Kami akan siapkan berkasnya dan akan kami uji coba untuk tiga kasus ini, agar bisa mengaitkan kepada yang (tersangka) lain,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Saud Usman Nasution kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (16/3).

Saud juga menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat dalam kasus pencurian pulsa ini akan ditetapkan sebagai tersangka. akan memeriksa petinggi operator berinisial I. Namun, polisi belum menjadwalkan waktu pemeriksaan. “Siapa pun yang terlibat harus bertanggung jawab karena merugikan konsumen,” kata Saud.

Namun, ketika ditanya soal inisial dari I, Saud enggan menyebut identitas saksi yang akan dipanggil dalam waktu dekat untuk menjalani proses pemeriksaan itu. I dipanggil berdasar keterangan saksi dan tersangka yang telah diperiksa sebelumnya. Saud pun kembali enggan menyebut keterlibatan I dalam kasus tersebut. “Nanti saja, tunggu hasil pemeriksaan,” selorohnya.

Sebelumnya, Polri telah menetapkan Vice President Digital Music Content Management PT Telkomsel berinisial KP Vice Presiden PT Telkomsel Krisnawan Pribadi sebagai tersangka. Selain itu, Dirut PT Colibri Network berinisial NHB dan Dirut PT Multi Play berinisial WHM juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Para tersangka kami jerat dengan pasal 62 jo pasal 9 UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen jo pasal 28 jo pasal 45 UU Nomor 11/2008 tentang ITE jo pasal 362 jo 378 KUHP.

Dari pemeriksaan sementara, diketahui bahwa operator selular tersebut diduga merupakan pihak yang menandatangani perjanjian dengan perusahaan CP. Penyidik juga telah memeriksa Direktur Utama PT XL Axiata Hasnul Suhaimi sebagai saksi. Dari informasi yang dihimpun wartawan, kedua tiga operator juga melakukan kerjasama dengan PT Colibri Network dan Multi Play.

Meski penyidikan sudah berjalan, pihak kepolisian belum menghitung kerugian yang ditimbulkan dari kasus pencurian pulsa tersebut. Dalam proses penyelidikan sendiri, tim penyidik Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan terhadap 88 saksi. Mereka ini terdiri dari sejumlah saksi pelapor yang menguatkan kasus pencurian ini, 33 saksi dari Telkomsel, 37 saksi dari perusahaan CP dan 10 saksi ahli.

sumber : http://beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Polri+Janji+Seret+Petinggi+Dua+Operator+Selular

DPR Diminta Hentikan RUU KPK

Gelombang penolakan revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi. Bahkan lembaga yang dipimpin Busyro Muqoddas itu akan terus mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa revisi undang-undang tersebut berpotensi untuk melemahkan KPK.

“Diam-diam DPR sudah menyiapkan 10 poin untuk merevisi UU KPK. Banyak yang menduga itu untuk melemahkan KPK,” kata Wakil Ketua KPK M Jasin saat dihubungi tadi malam (24/4/2011).

 

Menurutnya, beberapa kewenangan KPK akan dipangkas dalam revisi tersebut Koruptor, lanjut Jasin. sudah mulai tertanggu dengan konsistensi KPK dalam melaksanakan tugasnya.

Beberapa kewenangan KPK yang diduga akan diampuatasi diantaranya adalah kewenangan penuntutan. Nantinya dalam revisi tersebut, kewenangan penuntutuan yang dimiliki KPK akan dihapuskan. Selain itu kewenangan penyadapan KPK yang selama ini dimiliki KPK juga akan dihilangkan.

Jasin pun mengatakan pihaknya tidak akan tinggal diam dalam dalam persoalan ini.

Menurutnya, KPK akan terus mengkampanyekan agar UU KPK tidak direvisi. “UU KPK yang sekarang sudah efektif. Kenapa harus diamandemen,” kata dia.

Di bagian lain Ketua Komisi III Benny K. Harman membantah rencana revisi RUU KPK bertujuan melemahkan KPK. Menurut dia, keberadaan RUU tersebut justru agar lembaga antikorupsi itu bisa bekerja lebih akuntabel dan professional kedepannya. Tidak ada itu motif-motif politik atau apa.” elak Benny.

Dia lantas menunjukkan salah satu poin revisi mengenai tata cara penyadapan. Menurut Benny, hingga saat itu, belum ada aturan terkait kewenangan penyadapan KPK hingga di tingkat mana. “Seperti ini kan butuh aturan yang jelas, biar KPK juga punya pijakan yang jelas pula,” tandasnya.

Diajuga membantah, bahwa banyak poin jebakan dalam draf revisi RUU tersebut. Politisi Partai Demokrat itu justru merasa aneh dengan tudingan tersebut. “Ini dibahas saja belum kok sudah takut macam-macam.” imbuhnya.

Soal permintaan menghentikan proses pem-bahasan, Benny menilai hal tersebut sulit direalisasikan. Sebab, rencana revisi RUU KPK sudah masuk dalam program legislasi nasional 2011. “Ini sudah kesepakatan bersama di DPR,” tandasnya.

Sementara itu. Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali menyatakan penolakan keras terhadap revisi UU KPK. Sebab, revisi UU KPK terjadi saat korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara semakin merajalela. Selain itu, tujuan revisi bukanlah untuk memberantas korupsi tersebut. “Akan tetapi Iebih sebagai respon dari pihak yang terganggu dengan kerja KPK,”papar Koordinator Divisi Hukum Febri Diansyah di kantor. ICW, kemarin.

Febri memaparkan, sampai saat ini Setjen DPR tengah melakukan penyusunan draft Naskah Akademik dan RUU KPK atas permintaan Komisi III DPR. Sebelumnya ditemukan sebuah surat Nomor PWO1/0054/. DPR-RJ/1/2001 tanggal 24 Januari 2811. dari Wakil Ketua DPR-RI, Priyo Budi Santoso kepada Komisi HI DPR-RI. Isinya terkait permintaan penyusunan draft RUU tersebut.

Agar dinilai telah melibatkan publik, lanjut Febri, pihak DPR pernah mengundang ICW untuk memberikan masukan atas RUU KPK pada 13 April lalu. Dalam pertemuan tersebut DPR menyampaikan 10 poin yang rencananya akan dimasukkan dalam draft RUU KPK.

Sepuluh poin tersebut antara lain, soal tumpang tindih dan “rebutan” perkara korupsi antar institusi penegak hukum; prosedur KPK melakukan penyadapan; kemungkinan KPK mempunyai penyidik sendiri; perwakilan KPK di daerah; kewenangan menerbitkan SP3; efektifitas pelaksanaan tugas KPK dan kemungkinan peninjauan ulung kewenangan KPK.

“Berikutnya, soal peningkatan fungsi pencegahan KPK; pelaksanaan koordinasi dan monitoring KPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan; mekanisme pergantian antar waktu pimpinan KPK; hingga efektifitas atau rencana peninjauan konsep kolektif dalam pengambilan keputusan KPK,”lanjutnya.

Menurut ICW, jika dicermati, terdapat sejumlah jebakan dalam sepuluh poin DPR tersebut. Meski disebutkan beberapa poin yang seolah justru menguatkan KPK, seperti kemungkinan KPK menjadi penyidik tunggal korupsi dan rekruitmen penyidik sendiri, delapan poin lainnya bisa melemahkan.

Sumber: Indopos, 25 April 2011